Komunalbox.com
Dalam hitungan hari, pemerintahan Amerika Serikat (AS) akan mengalami shutdown atau
penutupan sementara akibat kehabisan anggaran. Tidak sekedar shutdown,
Negara Adikuasa dikatakan juga terancam mengalami krisis finansial. Oleh karena
itu, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen meminta Kongres AS untuk menaikkan batas
utang untuk menghindari hal tersebut.
"Kongres telah
menaikkan atau menangguhkan batas utang negara sekitar 80 kali sejak tahun
1960. Sekarang harus dilakukan lagi," kata Yellen.
Batas utang atau sering disebut plafon utang merupakan seberapa besar
pemerintah AS diizinkan berutang guna memenuhi kewajibannya, termasuk di
dalamnya untuk jaminan sosial, tunjangan kesehatan masyarakat, pembayaran bunga
utang, serta kewajiban lainnya
Berdasarkan data data dari Statista, per Agustus lalu, nilai
utang Amerika Serikat sebesar US$ 28,427 triliun, nyaris sama dengan bulan
sebelumnya, tetapi turun cukup jauh dari bulan Juni US$ 28,529 triliun.
Namun, jika melihat data dari US Debt Clock,
yang melihat posisi real time utang AS
saat ini mencapai US$ 28,781 triliun. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto
(PDB), utang tersebut sebesar 125% dari PDB Negeri Adidaya.
Nilai utang itu juga sekitar 70 kali dibandingkan dengan Utang
Luar Negeri (ULN) Indonesia. Bank Indonesia (BI) pada pekan lalu melaporkan ULN
Indonesia per akhir Juli sebesar US$ 415,7 miliar atau sekitar 5.923,72 triliun
Sementara nilai utang AS jika dirupiahkan sebesar Rp 410.129
triliun!
Batas utang Amerika Serikat saat ini sebenarnya sebesar US$ 28,4
triliun, dan Yellen mengatakan Amerika Serikat akan mengalami gagal bayar (default)
yang tidak pernah terjadi sebelumnya jika batas tersebut tidak dinaikkan.
"Jika batas utang tidak dinaikkan, suatu saat di bulan
Oktober, sulit untuk memprediksi kapan waktu tepatnya, saldo kas di Departemen
Keuangan tidak akan mencukupi, dan pemerintah federal tidak akan mampu membayar
tagihannya," tambah Yellen.
"Amerika Serikat tidak pernah mengalami default,
tidak sekalipun. Jika terjadi default maka akan
memicu krisis finansial yang bersejarah. Default bisa memicu
kenaikan suku tajam suku bunga, penurunan tajam bursa saham, dan gejolak
finansial lainnya," tegas Yellen.
Plafon utang sudah berulang kali menjadi isu politik di Amerika
Serikat. Shutdown juga pernah terjadi berkali-kali. Sebelumnya
isu kenaikan plafon utang terjadi di era Presiden AS ke-45, Donald Trump. Saat
itu pemerintahan Amerika Serikat mengalami shutdown selama 35
hari pada periode Desember 2018 hingga Januari 2019.
Shutdown tersebut menjadi
yang terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat. Sebanyak 300 ribu pegawai
pemerintah dirumahkan. Selain itu, PDB juga terpangkas. Pada kuartal IV-2018,
PDB terpangkas sebesar 0,1%, sementara di kuartal I-2019 sebesar 0,2%,
berdasarkan analisis Congressional Budget Office, sebagaimana dikutip CNBC
International.
Saat itu, perekonomian AS masih bagus, sementara saat ini masih dalam fase
pemulihan dari pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), oleh karena itu
dampaknya bisa lebih besar lagi.
Meski demikian, Partai Republik menolak mendukung kenaikan batas utang
tersebut. Senator partai Republik dari Lousiana, Bill Casssidy mengatakan
Partai Demokrat ingin menaikkan batas utang tersebut untuk membiayai rencana
proyek triliunan dolar AS yang disebut "Democrat wish list".
Sementara itu Yellen mengatakan kenaikan plafon utang akan digunakan untuk
membayar kewajiban di masa lalu. Mantan ketua bank sentral AS ini juga
menyatakan terlalu lama menunda kenaikan batas utang akan menyebabkan lebih
banyak masalah. Berkaca dari 2011, ditundanya kenaikan batas utang membuat
pemerintah AS nyaris mengalami default, dan terjadi penurunan tingkat kredit.
Lembaga pemeringkat utang, S&P pada tahun 2011 untuk pertama kalinya
memberikan peringkat utang AS di bawah AAA.
"Penundaan kenaikan batas utang dapat menyebabkan gangguan besar di
pasar keuangan yang berlangsung selama berbulan-bulan. Baik penundaan maupun
default tidak bisa ditoleransi," kata Yellen.
Komentar
Posting Komentar