Komunalbox.com
Makam Banyusumurup yang terletak di lembah terpencil di kawasan Imogiri jadi pemakaman bagi orang-orang yang dianggap musuh negara oleh Amangkurat I. Di komplek makam ini tersimpan saksi bisu aneka intrik dengan latar belakang perebutan kekuasaan hingga perebutan asmara bapak anak.
Rabu, 10 November 2021, mendung menggelayut di langit Yogyakarta sedari pagi. Menjelang tengah hari, hujan deras akhirnya turun kala saya melintasi Ring Road Selatan Jogja. Perjalanan saya kepalang tanggung untuk tidak diteruskan. Menyusuri jalan Imogiri-Dlingo, saya berbelok kanan sebelum tanjakan arah Mangunan. Sebuah tugu dari batu bata menyambut saya. Banyusumurup, begitu tulisan di tugu itu.
Beberapa papan nama perajin keris menghiasi jalanan dusun. Tapi, bukan keris tujuan saya melainkan sebuah bangunan di ujung dusun itu. Kurang lebih 200 meter sebelum tujuan, rumah warga semakin sedikit dan pemandangan didominasi hutan jati. Bangunan terakhir yang melepas saya sebelum sampai ialah sebuah kendang kerbau kosong.
Sampailah saya di sebuah bangunan berpagar tembok putih dengan dua pintu kayu sederhana. Hujan kian deras selepas saya memarkir motor. Keinginan saya untuk berkeliling di sekitar tempat itu harus diurungkan. Toh, tidak ada warga bisa ditemui. Saya mencoba menghubungi beberapa nomor abdi dalem di samping pintu. Akhirnya, satu nomor membalas pesan saya. “Datang ke rumah saja, Mas. Bapak masih di rumah.”
Makam Banyusumurup, demikian banyak sumber bacaan menyebut tempat di ujung dusun Banyusumurup, Girirejo, Imogiri, Bantul ini. Jika melihat ke belakang komplek makam, terlihat hamparan ladang warga dan perbukitan Imogiri. Jalanan selepas makam pun hanya jalanan setapak yang sering dilintasi peladang. Aspal jalan berakhir di tempat ini. Bagi saya, komplek makam ini adalah lawan kata dari makam raja-raja di Pajimatan, Imogiri, 2 kilometer di sebelah barat laut Banyusumurup. Inilah makam bagi mereka yang dituduh berseberangan dengan raja.
Hujan, makam, pohon beringin, dan kesepian di ujung dusun. Nuansa mistis tiba-tiba merebak siang itu walaupun jam menunjukkan pukul 12.00. Nuansa itu akhirnya hilang saat sebuah pesan WhatsApp berisi petunjuk arah ke sebuah rumah, 1 kilometer di bawah makam.
Seorang pria tua menyambut saya dengan ramah. Sang anak menjelaskan jika sang bapak tidak bisa menggunakan telepon genggam, maka nomornya lah yang dipajang di daftar abdi dalem Makam Banyusumurup. Sang bapak mempersilakan saya duduk sebelum menghilang di balik tembok dan kembali dengan segelas kopi. Ia memperkenalkan diri sebagai Ngatman, 71 tahun. Namun, itu adalah nama masa kecil. Karena seorang abdi dalem Kraton Surakarta, ia punya nama dan gelar lain. Raden Ngabehi Tirto Hastono Prasetyo.
Pak Tirto berujar, sebenarnya jadwal jaga makam baru mulai pukul 15.00 sore. Maka, sembari menanti, saya memilih menunggu di rumahnya. Rencana awal, saya akan ikut Pak Tirto ke makam untuk berziarah lalu berbincang dengan 2 orang abdi dalem lain yang hari itu bertugas. Namun, hujan semakin lama semakin deras. Membayangkan berada di makam di ujung dusun dengan cuaca seperti ini rasanya membangkitkan ulang nuansa mistis di benak saya.
“Di sini saja, Mas. Toh jika hujan juga di sana becek, tidak ada atapnya. Saya kalau hujan juga nanti tidak akan naik,” ujarnya. “Abdi dalem lain kalau ditanyai juga belum tentu bisa jawab, Mas. Soalnya mereka masih muda-muda,” imbuh sang anak saat mendengar percakapan kami. Maka, bersama derasnya hujan, di selasar rumah Pak Tirto ini kami kembali ke masa silam.
Intrik asmara bapak dengan anak
Masa kerajaan zaman dahulu tidak selalu soal kehebatan raja dan aneka kepahlawanan seperti di dalam dongeng semata. Sama seperti dunia politik sekarang, masa itu juga berkelindan dengan aneka intrik. Hampir semua kerajaan punya sisi kelam semacam ini.
Dalam kisah Mataram Islam, saksi bisu intrik politik dan kelamnya sisi lain kerajaan tersebut bisa ditemukan di sebuah Makam Banyusumurup atau makam Pangeran Pekik. Nama ini sejatinya masih punya hubungan darah dengan Amangkurat I (bertahta 1646-1677), putra dari Sultan Agung. Pangeran Pekik adalah paman sekaligus mertua sang raja. Bibi sang raja, Ratu Wandansari, adalah istri dari pangeran yang juga keturunan Sunan Ngampel itu.
Intrik dimulai saat Amangkurat menemukan seorang gadis Surabaya bernama Roro Oyi (beberapa sumber menuliskan sebagai Roro Hoyi). Babad Tanah Jawi (W.L Olthof, 2017) mengisahkan ayahnya bernama Ki Yudha Karti, bawahan Pangeran Pekik di Surabaya.
Sang raja berniat meminang gadis itu sebagai selir. Namun, karena usianya masih belia, ia dititipkan ke seseorang bernama Ngabehi Wirareja sebelum kelak dewasa dan siap dipinang. Hingga, suatu ketika, Pangeran Tejaningrat, putra mahkota Mataram Islam tidak sengaja melihat Roro Oyi saat berkunjung ke kediaman Wirareja. Sang pangeran lantas menaruh hati pada calon selir ayahandanya sendiri.
Cerita soal jatuh hatinya Tejaningrat pada Roro Oyi terdengar oleh Pangeran Pekik yang merupakan kakek sang putra mahkota. Pangeran sepuh itu lalu mengambil keputusan berani untuk menikahkan Tejaningrat dengan Roro Oyi. Hal ini, kelak, membawa akhir hidup bagi Roro Oyi, Pangeran Pekik, sekaligus Wirareja.
Amangkurat I marah besar mendengar calon selirnya telah dinikahi anaknya sendiri. Dalam Babad Tanah Jawi, raja lantas menghukum mati Pangeran Pekik beserta 40 pengikutnya dan dimakamkan di Banyusumurup. Wirareja beserta anak istrinya belakangan diasingkan ke daerah bernama Prana Raga sebelum dibunuh di sana.
Tejaningrat kemudian diberi pilihan, apakah akan memilih tahta atau Roro Oyi. Dengan syarat, jika memilih Roro Oyi maka sang pangeran akan diusir dari kraton dan kehilangan posisi sebagai putra mahkota. Pangeran memilih tahta dan konsekuensinya ia harus membunuh sang istri, mantan calon selir ayahnya; Roro Oyi. Gadis itu meregang nyawa dengan cara ditusuk keris di atas pangkuan Tejaningrat.
Pak Tirto berkisah, versi lain kematian Pangeran Pekik mengatakan bahwa ia tidak pernah terbunuh melainkan moksa saat hendak dihabisi prajurit Mataram. “Kalian tidak usah membunuhku!,” sang abdi dalem menggambarkan dengan dramatis. Lalu, 40 nisan tiba-tiba muncul di tempat itu. “Tapi kalau di versi ketoprak, Pangeran Pekik itu di-seda lawe, digantung, Mas,” lanjutnya.
Ada pula versi lain soal peran Tejaningrat dalam kematian Pangeran Pekik dan Roro Oyi. Menurutnya, sang putra mahkota diberi sebuah keris tanpa gagang dan warangka oleh Amangkurat I lalu disuruh mencari warangka keris itu di kediaman Pangeran Pekik. Sebuah teka-teki sekaligus perintah halus untuk membunuh sang pangeran. Lalu, soal Roro Oyi, versi lain mengatakan jika gadis itu merebut keris Tejoningrat dan memilih bunuh diri atas nama pengorbanan bagi Mataram.
Soal alasan Pangeran Pekik, baik Pak Tirto maupun berbagai literatur sejarah mengatakan itu semua didasari pada rasa cinta sang kakek pada cucunya. “Pangeran merasa masa depan Tejoningrat masih panjang, sayang kalau keinginannya tidak dipenuhi, toh Amangkurat I waktu itu sudah punya banyak selir.” Masih menurut Pak Tirto, Tejaningrat sempat mengatakan akan bunuh diri pada Pangeran Pekik jika tidak bisa mendapatkan Roro Oyi.
Soal pemilihan tempat, ia mengisahkan bahwa memang lokasi ini dipilih untuk menyembunyikan jejak darah di Mataram. Menurutnya, perintah dari Amangkurat I sendiri yang menyuruh agar Pangeran Pekik tidak dimakamkan di puncak gunung sebagaimana makam bangsawan kerajaan masa itu. Saat ini saja, komplek Makam Banyusumurup berada sangat terpencil di sebuah lembah pegunungan Imogiri.
Di masa Pak Tirto kecil, jalan menuju makam pun hanya berupa jalan setapak yang bahkan tidak bisa dilewati sepeda. Menurutnya, jalan aspal menuju makam baru dibangun pada dekade 80-an. Saya agak bergidik kala membayangkan betapa tersembunyinya lokasi itu di tahun 1670-an
Bercak darah di Banyusumurup tidak hanya berhenti di konflik Amangkurat I dengan Pangeran Pekik-Roro Oyi semata. Masih di masanya, Pangeran Silarong, paman sang raja, turut menyusul Pangeran Pekik setelah dituduh hendak memberontak. Peter Carey dalam Kuasa Ramalan berkisah banyak soal para bangsawan yang berseberangan dengan penguasa selama gejolak politik di kraton Yogyakarta semasa Sultan Hamengkubuwono II dan berakhir di lembah terpencil ini.
Di tahun 1811-1812, ada nama Raden Ronggo Prawirodirjo III, Patih Danurejo II, serta sang ayah Danukusumo II yang dihukum mati lalu dimakamkan di sini. Di masa akhir Perang Jawa pada 1829, ada nama Pangeran Joyokusumo I dan II, pendukung Diponegoro yang turut dimakamkan di lembah ini. Total, seturut keterangan Pak Tirto, ada 52 nisan di bagian dalam dan 12 nisan di bagian luar yang merupakan makam abdi dalem pertama.
Terkait kapan berdirinya makam ini, Pak Tirto hanya mengatakan jika itu bersamaan dengan meninggalnya Pangeran Pekik dan berdekatan dengan penyerangan Trunojoyo ke Kedaton Pleret. Hal ini agaknya memang benar jika merujuk ke Babad Tanah Jawi. Di babad itu, bab tentang kematian Roro Oyi dan Pangeran Pekik berada sebelum bab yang membahas penyerangan Trunojoyo pada 1677. Di sisi lain, hampir tidak ada keterangan pasti soal kapan makam ini dibangun.
Lembah hukuman, demikian sebut Y.B Mangunwijaya dalam novel sejarah Roro Mendut dan Peter Carey dalam serial Kuasa Ramalan. Tempat ini memang berada di lembah, ledokan kalau kata orang Jawa dan di sinilah kisah-kisah kelam dari masa Mataram Islam disembunyikan dengan diitari hutan dan perbukitan.
Bahkan, untuk menuju tempat ini tidak ada papan petunjuk arah apapun. Di sinilah tersimpan saksi bisu aneka intrik dengan latar belakang perebutan kekuasaan hingga perebutan asmara bapak anak hingga seorang raja mudah saja membunuh paman sekaligus mertuanya sendiri.
Kisah para pencari jabatan
Bersama Makam Pajimatan, Giriloyo, dan Kotagede, komplek makam Banyusumurup adalah 1 dari 4 empat makam yang dikelola secara bersama oleh Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Maka, abdi dalem dari 2 kerajaan itu menjaganya secara bergantian. Di Banyusumurup, Pak Tirto adalah abdi paling tua sekaligus senior. Ia sudah magang sebagai abdi dalem sejak sebelum tahun 1970, mewarisi sang ayah yang dulunya juga abdi dalem.
Tempat ini sudah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya. Namun, Pak Tirto mengatakan jika tidak ada pendanaan khusus untuk Banyusumurup. Operasional sehari-hari untuk makam diambilkan dari uang pemberian para peziarah. “Kalau dikasih 100, nanti 25 buat operasional,” terangnya. Tabungan, demikian ia menyebut. Untuk abdi dalem, mereka mendapat gaji dari kraton dan dana keistimewaan.
Pria itu bercerita jika mendapatkan honor dari kraton sebesar Rp100.000,00 perbulan dan dirapel setahun. Lalu dari dana istimewa sebesar Rp500.000,00 dan dirapel per 3 bulan. Sembari sesekali bermain dengan cucu di sampingnya, saya menanyai Pak Tirto soal siapa saja pengunjung di Makam Banyusumurup. “Alhamdulilah, sering banyak yang kabul (terkabulkan), Mas.” Jawaban itu sekilas tidak ada hubungannya dengan pertanyaan saya. Tapi, kata-kata itu membuka kisah lain soal Banyusumurup.
Setelahnya, keluar berbagai nama pejabat dari mulut Pak Tirto. Mulai dari calon bupati dan beberapa nama lurah di daerah Bantul. Dengan bangga ia bercerita sangat jarang tamu tidak bisa terkabulkan keinginannya. Menurutnya, tidak ada syarat dan ritual rumit bagi orang-orang dengan tujuan macam itu. Cukup kembang dan uang seikhlasnya. Pun, nominalnya beragam. Baru-baru ini ada seorang calon lurah dari Sleman berziarah ke makam dan memberi uang 100 ribu rupiah.
“Kok cuma sedikit, Pak?” seloroh saya yang diikuti gelak tawa pria itu.
Walaupun demikian, ada pula kisah peziarah terkabulkan keinginannya dan memberi sesuatu cukup besar untuk Makam Banyusumurup. Di tahun 1980-an, ada seorang pegawai bank punya nazar untuk merenovasi lantai makam dengan tegel saat keinginannya terwujud. Sebelumnya, lantai makam hanya berupa tanah seperti makam biasa.
Kisah Pak Tirto berlanjut ke tahun 1992. Kala itu, datang seorang utusan untuk memperlancar sidang gugatan kepada Ahmad Thahir atas uang yang pernah dikorupsi dari Pertamina. Utusan itu meminta sejumput tanah dari makam Roro Oyi supaya uang tindak pidana Muhammad Tahir bisa kembali ke negara. Singkat kata, negara akhirnya memenangkan gugatan. “Saya mengambilkan tanahnya waktu itu,” kenangnya penuh bangga.
Namun di balik aneka kebanggaan itu, Pak Tirto menyimpan kisah pilu. Ia menyayangkan orang-orang yang keinginannya terkabul tapi lupa pada makam Pangeran Pekik. Seturutnya, ada beberapa orang pernah menjanjikan aneka hal untuk makam tapi tidak kunjung terealisasikan. Bahkan, katanya, si utusan telah memberikan uang 20 juta rupiah demi membangun pendopo di makam tapi uang itu tidak pernah sampai dan pendopo tidak pernah dibangun.
Menyoal keinginan pribadinya sebagai abdi dalem, ia tidak punya keinginan muluk. Ia tidak punya keinginan bahwa Makam Banyusumurup punya pendanaan khusus. Ia hanya berharap, suatu saat nanti ada peziarah mau memperbaiki jalan menuju makam sebab saat ini jalanan menuju makam sudah rusak.
Kala saya bertanya kenapa dia begitu bangga dengan kisah para peziarah terkabulkan keinginannya, Pak Tirto terdiam cukup lama sambil melihat derasnya hujan. “Saya bukan sombong karena bisa membantu keinginan-keinginan itu terwujud, Mas. Saya senang, artinya walaupun saya sudah tua begini, saya masih dipercaya Gusti Pangeran Pekik untuk menyampaikan keinginan itu,” terangnya.
Saat Sutabat (40 tahun), anak Pak Tirto bergabung dengan kami, kami bertukar aneka kisah. Mulai dari soal anggapan warga dan pantangan tertentu di area makam. Sepengetahuannya, tidak ada pantangan khusus di sekitar makam bagi warga. Secara normatif, ia mengaku bangga karena di dusunnya ada situs cagar budaya. Saya lantas teringat dengan perjumpaan dengan para peladang di belakang makam beberapa bulan lalu saat berkunjung.
“Ya cuma begini, Mas”, “Cuma kuburan kok difoto-foto, Mas?”, ujar beberapa dari mereka. Ya, Kuburan, demikian sebut peladang itu, bukan makam atau pasareyan sebagaimana kebanyakan orang-orang tua menyebut makam yang masih ada hubungannya dengan sejarah kraton.
Dari Sutabat saya menyimpulkan, kebanyakan orang mengetahui tempat ini bukan sebagai situs cagar budaya ataupun tempat bersejarah. Makam Pangeran Pekik, makam yang sering didatangi orang-orang saat hendak mencalonkan diri untuk suatu jabatan.
***
Hujan yang tak kunjung reda mengurungkan niat saya untuk berziarah ke Makam Banyusumurup. Menjelang pukul 15.00 saya pamit pada Sutabat dan Pak Tirto sembari membuat janji untuk berziarah lain waktu. Tidak, saya tidak ingin berziarah demi memuluskan rencana mencalonkan sebagai lurah atau bupati. Semata, sebagai sebuah pelengkap pengalaman dan pengetahuan tentang sejarah tempat saya dibesarkan.
Bersama deras hujan di hari pahlawan, saya beranjak ke utara, meninggalkan sebuah dusun di bawah perbukitan Imogiri. Meninggalkan sebuah makam sederhana di lembah sunyi, tempat orang-orang yang dicap pemberontak dan pembangkang diasingkan dari keramaian, bahkan untuk urusan tempat pemakaman sekalipun. Di suatu lembah di Imogiri, tersimpan sebuah kisah kelam. Bahwa, soal sejarah kerajaan bukan hanya menyoal kepahlawanan dan aneka kearifan, tapi juga beberapa kisah kelam dan nyawa yang kadang terasa sangat murah harganya di depan mata penguasa.
Komentar
Posting Komentar