Komunalbox.com
Bagi para pemerhati sejarah
kota Jakarta, rasanya tak ada yang tak mengenal Jan Pieterszoon Coen. Dia adalah
pendiri kota Batavia setelah merebut Sunda Kelapa dari kuasa Pangeran
Jayakarta. Coan pun tampil sekaligus sebagai Gubernur Jenderal VOC.
Suatu kali JP Coen pernah
berkirim surat kepada Heeren Seventien, pemegang saham VOC, yang isinya menyangkut paut tentang masyarakat Tionghoa di Batavia kala itu.
“Untuk membangun imperium di
belahan Timur dengan pusat kekuasaan di Batavia, tidak ada bangsa lain yang
dapat melayani kita lebih baik daripada orang Cina,” tulis Coen dalam
suratnya.
Apakah
itu artinya Coen memuji
masyarakat Tionghoa? Menurut
Alwi Shahab dalam Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia, ucapan Coen itu bukan
berarti bahwa masyarakat Tionghoa yang ada di Batavia adalah anak
emas VOC. Justru ini
adalah sebuah indikasi bahwa mereka (masyarakat Tionghoa) akan dijadikan pekerja di pelbagai lini
pembangunan. Mulai dari membangun rumah, gedung perkantoran, mengeloaan
pertanian, persawahan, dan juga perkebunan.
Pernyataan Coen sendiri
bukan tanpa sebab. Saat pertama kali membangun kota Batavia, dia banyak
mendatangkan orang Tionghoa dari Banten.
Semakin lama, jumlah itu semakin bertambah pesat.Tak hanya itu, gedung-gedung
yang dibangun kisaran abad ke-17 dan 18 juga banyak berlanggam Tiongkok.
Lantas,
apakah itu menandakan orang-orang Belanda di Batavia—baik yang ada di tubuh VOC atau
bukan—suka dengan keberadaan orang-orang Tionghoa?
Jawabannya mungkin bisa
dilihat dari Tragedi Angke 1740. Sebuah data kontemporer menyebutkan bahwa
lebih dari 10 ribu nyawa orang-orang Tionghoa dibantai oleh VOC dengan begitu
kejamnya.
Faktor ekonomi tetap menjadi
alasan pelik pembantaian tersebut. Syahdan, jumlah penduduk Tionghoa yang kala
itu mencapai 80 ribu jiwa banyak yang menganggur akibat banyaknya pabrik gula
di Batavia yang bangkrut. Imbasnya, kriminalitas pun meningkat.
Untuk
mengantisipasi hal itu, VOC membuat peraturan untuk menekan jumlah orang
Tionghoa di Batavia. Caranya bermacam-macam. Saat itu ada kabar yang mengatakan
bahwa orang-orang Tionghoa dikirim ke Sri Langka, namun ada yang mengabarkan
mereka dibuang di tengah laut. Beberapa warga yang masih di Batavia
mempersenjatai diri untuk melawan kesewenangan VOC dan menyerang kongsi dagang
itu pada 8 Oktober 1740.
Nah, alasan
penyerangan itulah yang kemudian dijadikan dalih pembantaian etnis Tionghoa
oleh VOC di Batavia.
Huru-hara
ini bukan hanya berdampak kepada kehidupan di Batavia, tetapi juga berakibat
pada ketidakstabilan politik di Kesultanan Mataram. Jikalau Raja Kartasura,
Susuhunan Pakubuwana II, menyatukan antara kekuatan pemberontakan orang-orang
Cina dan kekuatan prajurit keratonnya, mungkin saja VOC bisa hengkang dari Jawa
Tengah. Namun, sang raja tampaknya menyia-nyiakan momentum sehingga VOC berhasil
menguasai keadaan dengan campur tangan dalam urusan kerajaan. Meskipun
persekutuan Cina-Jawa dapat dipatahkan VOC, perseteruan wangsa itu baru
berakhir pada 1755 dengan terbaginya Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta.
Inilah suatu
masa yang kelak diakhiri perang dahsyat dan berakibat tumbangnya takhta Mataram
di Jawa. Orang-orang Jawa menandai huru-hara ini dengan “Geger Pacinan”.
Perang
dahsyat itu mengabadikan teladan kebersamaan, ketika laskar Jawa dan laskar
Cina berpadu melawan VOC. Namun, peristiwa Geger Pacinan juga telah memunculkan
narasi dan kebijakan pemerintah kolonial untuk memisahkan kedua etnis ini.
Komentar
Posting Komentar