Prabu Siliwangi diyakini ngahyang atau moksa di masa akhir Kerajaan Pajajaran, saat masa kejayaannya berakhir.
Namun, beberapa indikasi mengarah pada fakta lain. Bahwa sesungguhnya Prabu Siliwangi tidaklah ngahyang, melainkan meninggal dunia.
Kemudian jenazahnya diperabukan, sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh Prabu Siliwangi.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Prof Dr Nina Herlina Lubis mengatakan, kepercayaan Sri Baduga Maharaja termaktub dalam Prasasti Batu Tulis.
Prasasti ini, didirikan Prabu Surawisesa, 12 tahun setelah kematian Sri Baduga Maharaja. Dalam prasasti itu, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja, ayah dari Prabu Surawisesa, meninggal pada 1521. Jenazahnya kemudian diperabukan.
“Kenapa diperabukan, karena dia beragama Hindu,” ujar Prof Nina.
Berbekal informasi dari sumber primer, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja meninggal dalam keadaan beragama Hindu.
Bukan Raja Terakhir Pajajaran
Meskipun ada bukti sekunder yang menerangkan bahwa Prabu Siliwangi beragama Islam.
Prof Dr Ayatrohaedi yang meneliti Naskah Wangsakerta yang berasal dari Cirebon, juga mengungkapkan hal senada.
Ayat juga tidak sependapat dengan persepsi bahwa Sri Baduga Maharaja adalah raja terakhir.
Sebab, Kerajaan Sunda baru runtuh tahun 1579 tepatnya 58 tahun setelah Sri Baduga Maharaja meninggal.
“Dengan mengikuti Naskah Wangsakerta berarti raja terbesar adalah Niskala Wastukancana sebagai Prabu Siliwangi I sedangkan raja terakhir adalah Suryakancana yang berjuluk Prabu Siliwangi VIII,” kata Ayat, seperti dilansir dari Historia.
Naskah Wangsakerta juGa menyebut bahwa raja Sunda terakhir adalah Suryakancana atau dalam Carita Parahayiangan bernama Nu Siya Mulya yang memerintah selama 12 tahun (1567-1579).
Komentar
Posting Komentar